Tuesday, December 19, 2006

Sastra dan Perkembangan Ideologi Nasionalisme (Tjahjono Widarmanto)

Republika, Minggu, 10 Desember 2006
Sastra dan Perkembangan Ideologi Nasionalisme
Tjahjono Widarmanto Penyair dan eseis sastra
Nasionalisme merupakan sebuah ideologi yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa, atau bisa pula sebagai reproduksi makna.
Contoh nasionalisme yang muncul akibat kesadaran yang dirakayasa dan dikonstruksi oleh kelompok dominan untuk kelompok subordinate, bisa dilihat pada ideologi nasionalisme yang ada di Indonesia. Pidato-pidato Bung Karno pada awal kemerdekaan Indonesia merupakan wujud konstruksi nasionalisme yang dibangunnya demi sebuah bangsa, yang disebut Benecdit Anderson sebagai komunitas imajinasi. Pidato-pidato bung Karno merupakan sebuah konstruksi yang dirancang untuk membangun rasa nasionalisme.
Sastra yang menyuarakan ideologi nasionalisme bukan barang baru dalam khazanah kesusastraan dunia. Karya-karya sastra dunia yang membicarakan nasionalisme tak terhitung jumlahnya, sekedar menyebut contoh, adalah Nolimetangere (Yoze Rizal, Philipina), Dr Chivago (Boris Paternact), The Banished Negroes (Wordsorth, Perancis), Ourika (Claire de Durass, Perancis), Nyanyian Lawino (Okot P Bitek, Afrika Selatan), dan A Woman Named Solitude (Andre Schwarz-Bart, Perancis).
Persoalan nasionalisme di Indonesia pun merupakan realitas yang merupakan lahan inspirasi yang subur bagi penciptaan karya sastra. Bahkan, identitas kenasionalan karya sastra merupakan isu yang panas dalam menentukan kelahiran sejarah sastra Indonesia. Itu berarti, nasionalisme bukan saja hadir sebagai sumber inspirasi belaka, namun sekaligus hadir sebagai penanda eksistensi terhadap keindonesiaan sebuah karya sastra.
Ajip Rosidi menegaskan bahwa kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi pembeda antara kesusastraan Melayu dengan kesusastraan Indonesia. Kesadaran kebangsaan ini sebenarnya merupakan persoalan politis. Hal itu juga menunjukkan bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik.
Senada dengan pendapat di atas, A Teeuw mengatakan bahwa suatu ciri khusus perkembangan kesusastraan itu sebagian sejalan dengan gerakan nasionalis. Karena bahasa bisa sangat efektif dalam pergerakan nasionalis, maka sastra sebagai seni yang menggunakan media bahasa benar-benar memiliki peran politis dan budaya yang amat besar.
Ideologi nasionalisme menjadi issue penting bagi para sastrawan Indonesia sebenarnya muncul lebih dahulu sebelum ke-Indonesia-an itu sendiri dirumuskan. Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu muncul dibandingkan persoalan batas-batas kewilayahan. Muhamad Yamin di tahun 1921, pada puisi Bahasa, Bangsa, merindukan tanah airnya.
Tapi, Yamin mengidentifikasi tanah airnya masih terbatas pada daerah kelahirannya saja: Sumatera. Baru delapan tahun setelah Yamin menulis puisi itu, rasa nasionalisme dan identifikasinya terhadap tanah air telah bergeser lebih luas, tak lagi sebatas Sumatra, tapi meluas keseluruh nusa, sebagaimana ia ungkapan dalam puisinya Indonesia, Tumpah Darahku.
Sumpah Pemuda 28 Okteber 1928 makin menghukuhkan persolan nasionalisme dalam konstelasi sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru dengan penuh kesadaran meneriakkan bahwa kesusastraan Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban luhur yaitu menjelmakan semangat baru bangsa Indonesia. Dengan kesadaran akan semangat nasionalisme, majalah Pujangga Baru bersemboyankan "pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia".
Sutan Takdir Alisyahbana melalui novelnya Layar Terkembang, jelas-jelas menggambarkan semangat kebangsaan. Melalui tokoh Tuti, cita-cita dan pandangan STA terhadap generasi dan bangsa yang merdeka, bebas, idealis, dan bersemangat dituliskan dengan panjang lebar. Demikian juga dalam Manusia Baru karya Armyn Pane, mencitrakan sosok Indonesia yang diinginkan pengarangnya. Indonesia, diimpikan oleh Armyn Pane sebagai perpaduan Arjuna dan Faust. Perpaduan Timur dan Barat.
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan realisasi nasionalisme Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dimulai pada titik ini. Persoalan nasionalisme dalam sastra Indonesia berkembang tak hanya mempersoalkan persoalan identitas kebangsaan saja, namun bergeser pada persoalan revolusi untuk mempertahankan kemerdekan dari kolonialisme. Pada periodesasi ini, bermunculan karya-karya sastra yang bersetting perang revousi mempertahankan kemerdekaan.
Di Tepi Kali Bekasi dan Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Toer tak hanya sekedar berkisah pada kepedihan-kepedihan akibat perang saja, namun juga menggambarkan gelora perjuangan fisik bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Juga Royan Revolusi (karya Mohamad Diponegoro), Guru Isa, Tak Ada Esok (karya Mochtar Lubis), Pulang (Toha Mohtar) menampakkan nafas yang sama.
Pada genre puisi, Chairil lewat sajak-sajaknya, misalnya, Aku, Persetujuan dengan Bung Karno, Kerawang Bekasi, dan Diponegoro dengan lantang meneriakkan semangat patriotisme. Demikian sajak-sajak sastrawan lain seperti Toto Sudarto Bachtiar, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, dan lain-lain, menggambarkan semangat yang sama.
Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, persoalan nasionalisme di Indonesia tak berhenti begitu saja. Demikian juga dalam sastra Indonesia. Nasionalisme bergeser kembali dalam bentuk wacana. Karena pengaruh perubahan global, nasionalisme mengalami perubahan penafsiran. Dunia global memaksa setiap individu dalam negara merekonstruksi kembali nasionalisme.
Globalisasi menyebabkan perbenturan nilai-nilai etnit (etnisitas) dengan nilai-nilai global, dan nasionalisme terjepit di antaranya. Cornelis Lay dalam bukunya Nasionalisme Etnisitas: Perubahan Sebuah Wacana Kebangsaan, menyebutnya sebagai terjepit di antara dua kekuatan besar yaitu globalisasi dan etnonasionalisme. Persoalan inilah yang menyebabkan Indonesia sebagai sebuah Negara yang baru berkembang, berada dalam konteks kebangsaan yang sulit.
Mangunwijaya sebagai sastrawan memunculkan persoalan-persoalan baru dalam nasionalisme tersebut melalui karya sastra. Dua novelnya, yaitu Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung Rantau menawarkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme.
Dalam Burung-Burung Manyar, Mangun menyimbolisasikan bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru. Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada. Nasionalisme bagi Mangun berarti penciptaan identitas Indonesia, penciptaan kembali nation bulding yang harus menyertakan berbagai kemungkinan, bahkan dari kutub yang paling ekstrem seperti peran 'pembelot' sebagaimana yang tercermin dalam tokoh Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar.
Melalui tokoh Teto ini, Mangunwijaya menafsirkan kembali nasionalisme dalam wilayah yang lebih luas. Teto merupakan symbol generasi Indonesia yang berdiri di dua kutub, lahir dalam kondisi kebudayaan campur, dua latar budaya, dan dua nilai. Merupakan sebuah generasi yang memiliki pribadi yang retak yang mencari jati diri, baik jati diri individual ataupun jati diri kebangsaan.
Burung-Burung Rantau lebih tegas lagi dalam menafsirkan hakekat nasionalisme. Nasionalisme tak lagi dibatasi oleh wilayah negara saja. Bagi Mangun, karena globalisasi generasi Indonesia kelak adalah masyarakat dunia. Bisa Jawa, India, Yunani, dan Barat. Generasi muda Indonesia akan memiliki konflik cultural dalam diri mereka akibat globalisasi.
Dalam novel ini. Mangun dengan tegas membuang unsur-unsur masa lalu yang feodal. Generasi Indonesia kelak haruslah seperti burung-burung rantau kalau ingin berkembang secara spiritual dan material. Harus berani membebaskan dirinya dari sarang untuk berani terbang keluar mencari berbagai alternatif kebenaran untuk membangun jati dirinya.
Dari uraian di atas tampaklah bahwa persoalan nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumber ide yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Selama nasionalisme menjadi paradigma yang terbuka, yang membuka peluang untuk selalu ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik untuk mengangkatnya dalam karya sastra.
Tentu saja, sebagai sastrawan cara ungkap mereka mengenai nasionalisme berbeda dengan para sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme.

Buku Laris dan Fenomena Ayat-ayat Cinta (Prie GS)

Republika, Minggu, 17 Desember 2006 20:29:00
Buku Laris dan Fenomena Ayat-ayat Cinta
Prie GS Budayawan, pengamat sastra

Ayat Ayat Cinta, sebuah novel pembangun jiwa, sekarang telah menjadi fenomena. Benarkah?Saya tertarik untuk mengujinya. Tidak perlu dengan penelitian ilmiah. Tapi dengan hukum dagang bakulan yang sederhana saja.Awal Maret lalu. Dalam sebuah kesempatan diskusi di Semarang, manajer Penerbit Republika bercerita pada saya. Katanya, sejak kemunculannya di bulan Desember 2004, novel Ayat Ayat Cinta telah terjual 80 ribu eksemplar. Dan angka itu, lanjutnya, masih mungkin terus merangkak naik. Saya takjub mendengarnya. Sebab, selama 15 bulan beredar (terhitung sejak Desember 2004 hingga Februari 2006 - ed), novel itu berarti telah terjual kira-kira 5300-an eksemplar tiap bulannya. Angka yang fantastik untuk penjualan buku di Indonesia. Apalagi jenis sastra. Dan tebal pula. Itu berita kemarin. Berbulan lalu.
Berita terkini lebih menakjubkan lagi. Sebab, ketika tulisan ini saya buat, saya baru saja mendapat berita dari kolega Jakarta saya yang lain. Katanya, per bulan Juni, penjualan Ayat Ayat Cinta telah menembus angka 120 ribu. Dan per bulan Agustus telah merangkak hingga angka 150 ribu. Itu artinya, selama 21 bulan mengorbit (sejak Desember 2004 hingga Agustus 2006 - ed), novel itu terjual rata-rata sebanyak 7142-an eksemplar per bulannya. Betul-betul angka yang susah disebut biasa untuk dunia perbukuan Indonesia. Apapun jenis bukunya.
Angka penjualan yang fantastis itu, sempat menggoda saya untuk mengalkulasi berapa nilai nominal rupiah yang kira-kira diperoleh penulisnya. Dengan perhitungan lazim royalti seorang penulis di Indonesia, yakni 10 persen dari harga bandrol, maka angka yang dihasilkan Ayat Ayat Cinta pun semakin menggoda saya. Mari kita hitung bersama-sama!
Jika harga novel setebal 410-an halaman itu sebesar Rp 43.500, maka penulisnya memperoleh royalti Rp 4.350 per bukunya. Dan, jika bukunya itu telah terjual sebanyak 150 ribu eksemplar, maka tinggal kalikan saja. Hasilnya Rp 652.500.000 (enam ratus limapuluh dua juta limaratus ribu rupiah). Angka yang fantastis: setengah miliar rupiah lebih! Maka siapa pun Anda yang berniat menjadi penulis profesional, bidang sastra ataupun bukan, berbahagialah. Ternyata penulis itu bisa kaya.
Dengan penjelasan sederhana seperti itu, tidak aneh jika novel itu disebut fenomenal, hingga majalah nasional sekualitas Tempo pun, 'terpaksa' harus mengeksposnya. Sengaja saya sebut terpaksa dengan tanda kutip, karena saya tahu betul, majalah 'jurnalisme sastrawi' seangker Tempo takkan serampangan menampilkan ulasan buku sastra berikut penulisnya, jika ia tidak istimewa. Apalagi sampai memampang foto penulisnya segala. Dan, lebih tidak aneh lagi, jika novel itu pada akhirnya dilirik oleh rumah produksi, yang memang berwatak haus industri dan kapital materi.
Ayat Ayat Cinta telah fenomenal. Tempo pun telah mengakuinya. Siapakah penulis yang disebut Tempo dengan Pengarang Semarang itu? Pengarang Semarang itu ternyata bukanlah siapa-siapa. Publik Semarang pun bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Tak kecuali saya. Itu dulu ketika novel itu belum mengemuka. Jika akhirnya saya mengenalnya, itu pun karena dikenalkan adiknya, Anif Sirsaeba. Ketika saya mementori ilmu jurnalistik untuk para aktivis mahasiswa se-Jawa Tengah, Anif Sirsaeba ini adalah murid terbaik saya.
Si Anif ini mengenalkan kakaknya ke rumah saya dengan membawa novel Ayat Ayat Cinta. Saat itu masih cetakan pertama, belum booming. Kepada saya, dia meminta pendapat mengenai novel kakaknya itu, kuratorial. Katanya, untuk perbaikan-perbaikan karya dan edisi berikutnya. ''Seminggu lagi saya telpon ke Panjenengan, Mas,'' daulat si Anif pada saya mengakhiri pembicaraan. Saya tak tega menolaknya. Benar. Seminggu kemudian dia menelpon saya.
"Gimana, Mas, komentarnya?" katanya."Kangmasmu itu HAMKA kecil, Nif. Sebentar lagi pasti booming novelnya. Tinggal nunggu waktu saja. Kapan-kapan kita ngobrol banyak," jawab saya. Setelah itu, si Anif dan kakaknya makin sering dolan ke rumah saya. Kami intens bertemu. Dari intensitas pertemuan kami itulah, akhirnya saya lebih mengenal siapa sebenarnya pengarang Semarang yang menarik perhatian Tempo. Orangnya tak banyak bicara, santun, penuh dedikasi, dan dalam ilmu agamanya. Ia tak jauh beda dengan karakter Fahri bin Abdullah Shiddiq yang ia tulis dalam novelnya. Begitulah cerita perkenalan saya dengan penulis Ayat Ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy.
Membicarakan buku-buku laris di Indonesia, bertahun lalu sebelum Ayat Ayat Cinta menggelinding ke publik, saya punya beberapa refleksi pribadional yang menarik untuk saya kaitkan dengan fenomena Ayat Ayat Cinta.Saya pernah membaca Saman. Bertahun lalu.Saman, novel karya Ayu Utami adalah novel laris yang terlambat saya beli. Untung, seorang pengarang terkenal Indonesia mengirimkannya pada saya setelah ia mendapat kiriman buku itu dari koleganya. ''Saya tidak kuat membacanya,'' katanya.
Anehnya, hal serupa juga terjadi dengan Supernova, novel 'eksperimental' karya Dewi 'Dee' Lestari. Yang ini dikirim oleh mahasiswa yang mengaku membeli buku ini karena mode, takut dianggap ketinggalan jaman. ''Tapi saya bingung, tidak paham apa maunya,'' katanya.
Pengalaman ketiga masih datang dari mahasiswa, seorang yang ketika saya memberi pelatihan jurnalistik di kampusnya bertahun lalu, dia menjadi salah satu peserta. Anak muda inilah yang belum lama berselang mengantarkan buku ke rumah, dua buah buku jenis self motivation yang dia tulis sendiri. Buku itu telah menjadi dua seri karena laris. Seri pertama, telah mengalami beberapa kali cetak ulang dan laku mendekati angka 30 ribu. Ayu Utami, dalam kesempatan berdiskusi bersama mengatakan, bahwa saat itu Saman telah terjual lebih dari 50 ribu.
Dari tiga fakta itu saja ada pola yang bisa diidentifikasi. Pertama, adalah penulis terkenal yang baru sekali menulis novel langsung laris. Kedua, ada penyanyi terkenal, tapi bukan penulis, sekali menulis buku juga laris. Ketiga, bukan nama terkenal, bukan pula penulis, sekali menulis buku juga laris. Artinya, saat ini, siapapun Anda, penulis atau bukan, boleh dan bisa menghasilkan buku laris.
Soal yang lain adalah kasus buku Jakarta Under Cover tulisan Moammar Emka, seorang wartawan hiburan. Buku yang pernah jadi perbincangan ramai ini semula adalah buku yang sempat ditolak penerbit besar. Dan ia menjadi laris justru di tangan penerbit kecil saja, Galang Press. Maka, siapapun Anda, penerbit kecil atau besar, penerbit lama atau baru, berkesempatan mencetak buku best seller.
Pola yang lain ialah, betapa siklus kemunculan buku-buku laris itu kini relatif pendek saja. Seperti Hollywood yang selalu melahirkan film-film box office dengan jarak waktu yang relatif cepat. Ini artinya, pasar buku Indonesia telah bergerak menjadi industri yang jelas arahnya. Meskipun pasar ini belum sepenuhnya stabil. Adanya kasus pembeli buku laris yang tidak membaca buku yang dibelinya itu adalah indikasi, bahwa pasar Indonesia masih ditandai watak snobbish, ada jenis pembeli buku yang lebih untuk sebuah gaya hidup.
Hal semacam ini harus diterima dengan rendah hati. Karena, memang begitulah watak pasar transisi. Tapi dari gaya hidup itulah pasar buku akan menjadi kebutuhan hidup. Era membaca menjadi kebutuhan, memang, sesuatu yang sedang kita usahakan, dan baru sekarang usaha itu menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Refleksi pribadional saya di atas, tentu berkelindan dengan kasus fenomena Ayat Ayat Cinta. Ia setidaknya melahirkan pertanyaan, apakah fenomena itu merupakan bagian dari snobisme pasar buku Indonesia? Jawabnya: untuk sekarang, pasti. Ia memenuhi watak snobbish pasar transisi Indonesia yang menempatkannya sebagai gaya hidup. Namun, untuk ke depan, belum tentu. Jika dilihat dari isi dan reaksi pembacanya, saya optimis bahwa Ayat Ayat Cinta akan menjadi 'legenda sastra santri' tersendiri. Tak jauh berbeda dengan karya HAMKA, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Bahkan bisa lebih. Kita lihat saja nanti.